Mengapa Shale Gas di Indonesia Sulit Berkembang ?


Setiap mendiskusikan shale gas, para eksplorasionis lebih banyak berbicara sisi potensi gas ini yang sangat besar dan tersebar di beberapa cekungan. Posisi shale gas yang tersebar itu berbeda dengan gas konvensional yang ‘terkumpul’ di satu tempat. Artinya, untuk menentukan titik pengeboran shale gas semestinya tidak sesulit menentukan titik pengeboran gas konvensional.

😦 “Asseeek, Pakdhe mendongeng gas nonconventional”

Indonesia memiliki potensi shale gas yang besar, sebagaimana Amerika. Bedanya, kita masih berencana mengambilnya, sementara Amerika sudah memanfaatkannya. Indonesia bisa belajar dari kesuksesan Amerika. Paling tidak ada tiga hal pokok yang perlu diketahui apabila ingin membandingkan
shale gas di Indonesia dengan di Amerika.

BakkenResearch

Sejarah pengembangan unconventional resources di Amerika. Membutuhkan waktu riset-ekaplorasi dan testing lebih dari 40 tahun !. Riset ini dilakukan oleh pemerintah (USGS) dan hasil risetnya dibuka serta metode fracking dsb menjadi milik publik (open source).

Pertama Geologi dan Riset. Hampir semua ahli geologi tahu bahwa batuan di Indonesia relatif lebih muda dibanding batuan di Amerika. Dengan batuan yang lebih tua, maka batuan di Amerika relatif lebih mudah dipecahkan (brittle) yang tentunya sangat mempengaruhi teknik fracking yang diperlukan dalam mengambil gas. Bukan berarti bahwa batuan muda tidak dapat dipecah, tetapi perlu riset cukup lama dan teliti untuk mengetahui teknik fracking yang paling pas.

Amerika telah melakukan riset tentang batuan serpih selama lebih dari 40 tahun yang dimotori oleh United State Geological Survey (USGS), badan geologinya Amerika. Hasil penelitiannya dipublikasikan dan menjadi milik publik. Akses ilmu dan data terbuka ini menjadikan riset berkembang sangat pesat.  Sementara di Indonesia, sistem data tertutup, lembaga riset juga masih lemah, itu semua merupakan tantangan untuk mengembangkan potensi sumberdaya alam.

Kegiatan terpenting pada eksploitasi shale gas adalah fracking. Kegiatan ini merupakan kegiatan mekanis operasional yang lebih banyak melibatkan operasional engineering ketimbang geosaintis. Menentukan teknologi yang tepat, efektif, dan efisien merupakan kunci dari kesuksesan kegiatan ekstraksi shale gas.

Di Amerika riset bawah permukaan dilakukan USGS, riset fracking juga dilakukan pemerintah, dan hasilnya terbuka untuk diakses oleh pengusaha. Hasil pekerjaan DOE pada 1977 yang sukses mendemonstrasikan fracking massif (massive hydraulic fracturing in shale – MHF), menyemangati para pengusaha untuk  tergerak.

Multi Lateral drilling well path. [A fabrication not an exploration]

Multi Lateral drilling well path. [A fabrication not an exploration]

Hasilnya tahun 1986 multi-fracture horizontal well sukses dibor atas kerjasama antara DOE-dan pengusaha swasta di Wayne County, West Virginia. Indonesia perlu melakukan riset untuk mengetahui kondisi shale gas agar diketemukan cara fracking secara efisien. Tentu saja riset seperti ini membutuhkan biaya besar, tenaga yang andal, dan memakan waktu cukup lama. Seharusnya seluruh kebutuhan tersebut dibiayai oleh pemerintah sebagaimana di Amerika, karena ini merupakan strategi penguasaan energi dimasa depan.

Kedua dukungan infrastruktur. Selama operasi pengeboran hingga perekahan (fracking) banyak sekali truk-truk besar yang berlalu-lalang. Kebutuhan logistik satu sumur ataupun satu pad (kelompok sumur yang biasanya terdiri atas 6 sumur) ini memerlukan infrastruktur yang memadai. Kondisi jalan serta perjalanan yang aman tentunya merupakan tuntutan standar keselamatan yang sangat tinggi.

Ketiga tantangan regulasi. Shale gas merupakan potensi energi yang tidak dapat dilakukan dengan pemikiran konvensional. Batuan yang mengandungnya berbeda dengan yang konvensional, cara pengambilan dan teknologinya berbeda, profil produksinya jauh berbeda dan tentu konsekuensinya menghasilkan profil keekonomiannya juga akan berbeda. Perbedaan-perbedaan ini tidak dapat diakomodasi dengan sekedar memodifikasi dari pemikiran kegiatan ekstraksi gas konvensional.

Eksplorasi-produksi vs Fabrikasi

Shale gas terdapat pada batuan induk (source rock) yang sudah terbukti sebagai sumber gas konvensional. Diketahuinya keberadaan source rock ini sudah sangat membantu dalam kegiatan eksplorasi sehingga dapat dikatakan minim kegiatan. Kegiatan eksplorasi dalam pemanfaatan shale gas, untuk sementara, dapat dikatakan tidak ada, atau minim dan sangat singkat. Karena kebanyakan sudah diketahui potensinya dari penemuan gas konvensional.

Dengan demikian sistem Production Sharing Contract (PSC) dengan masa eksplorasi yang 3 tahun X 2 bukan sebuah perjanjian kontrak yang dapat diterapkan dalam bentuk PSC yang ada di Indonesia. Hal yang sama dengan pola produksi gas yang sangat tinggi didepan dan menurun secara cepat, akan sangat mempengaruhi keekonomiannya bila diberlakukan sistem First Tranche Petroleum (FTP) seperti yang berlaku sekarang.

Profil produksi shale gas (sumber OGJ). Terlihat produksi tinggi diawal yang menurun secara cepat. Sehingga untuk mempertahankan produksi harus banyak melakukan pengeboran.

Profil produksi shale gas (sumber OGJ). Terlihat produksi tinggi diawal yang menurun secara cepat. Sehingga untuk mempertahankan produksi harus banyak melakukan pengeboran.

Pengeboran sumur shale gas sering menggunakan sistem ‘grid’, sehingga penyiapan lokasi, pengeboran, fracking, hingga produksi merupakan sebuah kegiatan yang dapat dikatakan mirip dengan fabrikasi ketimbang sebuah kegiatan eksplorasi-produksi padaekstraksi gas konvensional. Dengan demikian kalau masih menggunakan sistem PSC, maka harus dengan perhitungan keekonomian yang sesuai dengan pola kegiatan, serta pola keekonomiannya.

Apabila masih sulit merubah sistem PSC yang sudah berjalan. Salah satu saran untuk pengembangan awal shale gas di Indonesia dalam masa riset ini adalah masa eksplorasi diperpanjang menjadi 5 tahun x 2. Dengan luas area Wilayah Kerja (WK) seluas 5 -10 kali lipat dari WK konvensional. Masa kontrak masih memungkinkan 30 tahun seperti kontrak yang biasa, karena pola produksinya yang akan sangat besar didepan dalam 2 tahun setelah pengeboran.

(tulisan ini juga diterbitkan dalam Majalah Berita IAGI)

9 Tanggapan

  1. […] Migas Non-konvensional ini tidak diambil seperti layaknya mengambil minyak yang konvensional yang tinggal disedot. Migas non-konvensional ini berada pada batuan serpih (shale) sehingga batuannya perlu dipecahkan (fracking). Saat melakukan produksinyapun berbeda. Itulah sebabnya pernah dituliskan disini: Mengapa Shale Gas di Indonesia Sulit Berkembang ? […]

  2. Kalau mau mendapatkan Shale gas, memang Pemerintah harus turun tangan. Biaya pertama ( Explorasi ) memang tinggi banget dan belum tentu berhasil. Survey International , Indonesia adalah negara ke 5 tentang kandungan Shale Gas ini. Perlu Specialist Horizontal Drilling ( banyak ) sampai 3000 ft dan SpecialistFracking Hight Pressure sampai 20-30 ribu Psi. Biayanya Wassalam, tetapi ya harus dimulai !!!!

  3. Shale gas tlh jdi energi alternatif dg harga terjangkau di AS.. smg Negeri tercinta lekas mengoptimalkannya jg..

    Nice infonya

    http://kasamago.com/menerawang-masa-depan-jet-tempur-interceptor/

  4. Reblogged this on New Hampi and commented:
    Understanding shale gas reserve in Indonesia

  5. ijin reblog(:

  6. semoga saja bisa cepat berkembang

  7. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengusulkan pembangunan bandara baru dalam proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Bandara baru ini merupakan penunjang Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng.
    baca selengkapnya di http://bit.do/utm-weather-station

  8. Tulisan yang sangat bagus mas Rovicky. Saya kira perlu ditambahkan dukungan pemerintah untuk dapat mendorong pengadaan material produksi dalam negeri, seperti proppant, fluid chemical, maupun >1500HP rig dan material casing dll. Persaingan dengan China dan India yang cukup masif mengembangkan shale gas di negeri mereka akan menjadikan potensi kekurangan pasokan material untuk operasi, sehingga menyebabkan biaya yang akan lebih mahal.

  9. Thanks info-nya Pak Dhe.

    Kira-kira berapa tahun lagi Indonesia bisa memproduksinya, apa perlu 40 tahun seperti di AS?

Tinggalkan komentar