Belajar Arkeologi : Mengapa Situs Purbakala Penting Untuk Dilindungi ? – 1


602archaeology2  Ini bukan cerita tentang situs megalith Gunung Padang saja, tetapi belajar arkeologi juga situs-situs geologi pada hakekatnya memiliki nilai penting yang setara dengan situs Arkeologi.

😦 “Laah, Pakdhe, kan bumi ini semua situs geologi Pakdhe. Apa ya tidak boleh dimanfaatkan ?”
😀 “Memanfaatkan apa saja peninggalan dan bahan alam ini diperlukan oleh manusia. Banyak bahan alam yang diperlukan manusia untuk mempertahankan peradabannya. Tentunya memanfaatkan secara beradap. Dalam bahasa jawa adab-asor, atau tata laksana yg terbaik yang nilai luhurnya sudah disepakati bersama”.
😦 “Kalau begitu, boleh donk saya mengambil hasil bumi dan hasil hutan ?”
😀 “Boleh dan harus dengan tata cara yang benar secara ilmu dan aturan yang sudah disepakati, thole”
😦 “Nggaboleh disia-siakan dan ditelantarkan saja ya Pakdhe. Harus diteliti terus menerus, kan ?

MENGAPA SITUS PURBAKALA PENTING UNTUK DILINDUNGI ?

Oleh Junus Satrio Atmodjo, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia

Belakangan ini banyak orang berbicara tentang situs. Istilah ini untuk sebagian orang dihubungkan dengan ‘ruang’ di dunia maya, yaitu tampilan di internet yang memunculkan informasi. Tapi bagi kalangan kebudayaan, pengertian situs ini tidak ada hubungannya dengan internet. Situs adalah sebidang tanah yang mengandung tinggalan purbakala, lokasinya bisa berada di darat atau laut, di dalam gua, di dasar sungai, atau di pegunungan.

candi-uii-jogjakarta4Pada situs biasa ditemukan benda-benda, reruntuhan bangunan, atau struktur kuno yang berusia sedikitnya 50 tahun. Candi kuno, masjid kuno, makam kuno, atau bangunan megalitik adalah jenis-jenis tinggalan purbakala berupa bangunan. Sedangkan sumur, kanal, perahu, sepeda, atau atap rumah bukan tergolong sebagai bangunan tetapi disebut struktur karena terdiri dari banyak komponen yang bila dipisahkan kehilangan bentuknya. Akan tetapi kapak batu, senjata tajam, kancing, baju, sepatu, genteng, atau ubin adalah termasuk kelompok benda, yang dalam dunia arkeologi disebut artefak. Jenis tinggalan purbakala ini biasanya berukuran kecil dan ringan, walaupun ada juga artefak yang berukuran besar dan berat seperti arca-arca Majapahit yang masih banyak kita lihat di Jawa Timur. Selain artefak, dikenal juga ekofak, yaitu benda-benda alam yang dipakai oleh manusia seperti apa adanya tanpa proses pembentukan lebih jauh. Wujudnya bisa tulang binatang sisa makanan yang terkubur di dalam tanah, berupa batu alam yang dipakai untuk menumbuk biji-bijian, ‘fosil’ daun-daunan yang sudah diolah nenek moyang kita sebagai makanan, dan sebagainya.

Secara bersama-sama atau satu-satu, semua tinggalan purbakala ini dapat ditemukan pada sebuah lokasi yang disebut situs. Jadi pengertian sebenarnya dari situs adalah tempat di mana manusia bekerja dan meninggalkan sisa-sisa pekerjaan itu sebagai ungkapan kebudayaan yang berlaku sesuai jamannya. Situs penting artinya bagi penelitian arkeologi untuk mempelajari kehidupan masa lalu melalui benda, bangunan, atau struktur yang ditinggalkan manusia. Penulisan sejarah sangat memperhatikan ketiganya sebagai data untuk merekonstruksi masa lalu.

Pengertian Situs dan Nilai Pentingnya

Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengertian situs dijelaskan sebagai berikut: “Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu”.

antarafoto1272968104Adapun pengertian cagar budaya dalam undang-undang adalah: “Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Dari rumusan ini bisa dipahami bahwa Undang-Undang Cagar Budaya memasukkan situs sebagai salah satu cagar budaya selian yang berupa benda, bangunan, atau struktur. Oleh karena itu seluruh situs dilindungi oleh undang-undang. Di permukaan tanah atau di dalam tanah tersimpan banyak informasi yang belum terpecahkan. Dibutuhkan ahli dan kehati-hatian untuk bisa mengungkap informasi itu sebelum bisa dirangkai menjadi sejarah.

Alasan ini menjadi dasar pertimbangan arkeolog (ahli purbakala) mengapa memperlakukan situs ekstra hati-hati, menjaganya dari berbagai kerusakan yang bisa menyebabkan kehilangnya jejak peradaban masa lalu selama-lamanya.

Ekskavasi Situs

Ekskavasi adalah penggalian yang bertujuan untuk menemukan data arkeologi (ilmu purbakala). Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu metode penelitian yang bersifat destruktif, atau merusak. Dikatakan demikian karena lapisan tanah yang mengandung tinggalan purbakala akan dikikis untuk menemukan informasi masa lalu. Pengikisan ini dilakukan perlahan-lahan, selangkah demi selangkah sambil mengamati data yang muncul ke permukaan.

Kesadaran tentang nilai penting lapisan tanah situs sudah diajarkan kepada semua arkeolog sejak mereka menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Ditanamkan pengertian mendasar kepada mereka bahwa lapisan-lapisan tanah menyimpan informasi yang sangat penting bagi sejarah manusia. Perlakukan sembarangan terhadap lapisan tanah itu akan menyebakan rusaknya “rekaman masa lalu”. Oleh karena itu arkeolog yang melakukan ekskavasi akan bekerja sangat hati-hati ketika  mulai mengamati rekaman itu. Cangkul, linggis, atau sekop tidak digunakan dalam ekskavasi. Sebagai gantinya arkeolog memilih cetok, kuas, atau kayu-kayu pipih yang dipakai untuk ‘menggaruk’ tanah secara perlahan-lahan.

😦 “Pakdhe, aku juga suka menggali tanah depan rumah looh. Siapa tahu ada duit kececer “

archaeology_1Artefak berukuran kecil seperti manik-manik, sisik ikan, serpihan tulang, pecahan keramik, atau sisa kain bisa muncul tanpa diduga. Semua bisa hilang tanpa kelihatan apabila ekskavasi dilakukan buru-buru menggunakan cangkul atau linggis. Perbedaan tempat penemuan antara manik-manik dengan sisik ikan misalnya, bisa menunjukkan perbedaan usia apabila berasal dari lapisan berbeda. Masing-masing mewakili bentuk aktivitas manusia berlainan, bisa jadi juga dari masa peradaban yang berbeda.

Teman-teman bisa membayangkan bagaimana rumit dan lelahnya arkeolog melakukan ekskvasi. Belum lagi tanah hasil penggalian yang harus diayak untuk menemukan bukti-bukti berukuran kecil tapi penting, sebelum dipilah-pilah menurut jenisnya. Dari barang kecil-kecil ini bisa diketahui jenis tanaman yang pernah tumbuh, proses geologi, iklim, berapa kali situs dipakai untuk hunian, jenis binatang yang hidup, dan masih banyak lagi.

Situs dengan permukaan tanah yang miring memiliki tingkat kesulitan lebih besar. Lapisan-lapisan tanah asli yang selama ratusan tahun dibiarkan terbuka akan mengalami erosi, turun ke bawah bercampur dengan lapisan yang lebih muda. Susunannya bisa terbalik, yang tua justru berada di atas dari lapisan tanah yang lebih muda. Bagi yang tidak berpengalaman, sudah tentu sukar membedakannya. Apalagi bila proses erosi itu diikuti dengan berpidahnya artefak-artefak yang semula berada di bagian atas meluncur ke bawah menjadi satu. Seorang arkeolog yang paling senior pun, dengan pengalaman puluhan tahun melakukan penelitian, akan sangat hati-hati menghadapi gejala seperti ini. Bila ia gegabah, maka ia akan mengacaukan “rekaman masa lalu” tanpa menyadari telah berbuat kesalahan: yang muda dianggap tua, dan yang tua dianggap muda.

Konteks

AncientEgyptianPlowing

Cara bercocok tanam jaman dahulu

Konteks adalah hubungan-hubungan yang menjelaskan keterkaitan antara satu unsur terhadap unsur lainnya. Hubungan-hubungan itu bisa menghasilkan informasi baru bersifat dugaan atau pola-pola tertentu. Dalam penelitian arkeologi, konteks penting peran untuk menjelasakan mengapa sebuah artefak ditemukan berada dekat sungai, misalnya. Berdasarkan lokasi penemuan kapak, bisa diduga bahwa kapak artefak ini dibuat di lokasi menggunakan sumber batu ada. Si pembuat mungkin datang ke tepi sungai karena lebih mudah memilih batu yang dibutuhkan daripada harus menggali tanah. Di tepi sungai dia bebas memilih batu yang cocok sebelum ditetak menjadi kapak. Maka, antara sungai sebagai sumber batu dengan kapak itu memiliki hubungan, dan hubungan itulah yang menjelaskan mengapa manusia datang ke tepi sungai. Kehadiran manusia, ketersediaan sumber batu, penemuan artefak, dan penemuan pecahan-pecahan batu yang terserak sebagai sampah saat membuat kapak. Keeluruhan hubungan inilah yang disebut konteks.

Dengan demikian, dalam setiap ekskavasi para arkeolog tidak boleh lengah melihat perubahan warna tanah, unsur pembentuk tanah, susunan tanah, bahkan kadang-kadang ‘baunya’ yang berbeda. Ia perlu hati-hati untuk mempertahankan konteks tersebut. Sebab setiap  penemuan artefak di lapisan berbeda akan menghasilkan rekosntruksi yang khas menurut konteksnya.

Artinya, setiap konteks berpotensi menghasilkan penjelasan yang berbeda-beda. Konteks ini tidak bisa dipaksakan oleh pemikiran peneliti karena bisa berbeda dengan kenyataan. Justru pikiran si peneliti itulah yang harus mengikuti perubahan yang bisa diamati selama ekskavasi berlangsung.

😦 “Kalau membangun Monas itu perlu seribu orang jaman sekarang. Lah kalau membangun Candi Borobudur jaman dahulu perlu berapa orang ya Pakdhe ?”
😀 ” Naaah … makanya belajar arkeologi kalau mau tahu tentang itu Thole”

Maka, kalau keberhasilan sebuah ekskavasi ditentukan oleh metode dan tata cara pengupasan tanah, mengamati konteks merupakan tanggung jawab terbesar. Apa pun kesimpulan yang ditarik dari pengamatan itu menuntut sikap jujur si peneliti menerjemahkan konteks tersebut menjadi cerita. Ini adalah tanggung jawab akademik yang harus dipegang teguh. Intinya para arkeolog, atau siapapun yang melakukan penelitian, tidak bisa memaksakan hasil ekskavsi supaya sesuai dengan pendapat mereka. Cara-cara ini dalam arkeologi disebut sebagai “kejahatan” (crime). Mereka yang melakukanya berpotensi membohongi sejarah dan publik yang terpaksa menerima hasil rekosntruksi mereka seolah-olah benar. Selain tanggung jawab akademik, semua peneliti punya tanggung jawab moral dengan menempatan etika serta nilai-nilai dalam cakupan pekerjaannya.

Menemukan Usia

Tugas ini merupakan salah satu yang terberat. Prinsipnya, semua kepurbakalaan cagar budaya harus bisa didukung oleh perkiraan usia. Manusia purba pertama di Indonesia yaitu Homo erectus misalnya, yang dulu disebut Pithecanthropus erectus, semula diperkirakan hidup 1,3 juta tahun lalu. Perkiraan ini disimpulkan dengan mengamati lapisan tanah yang menjadi lokasi penemuannya di lembah Begawan Solo. Kemajuan teknologi dibantu oleh aplikasi alat-alat cangkih mutakhir telah mengoreksi usia itu lebih tua menjadi 1,8 juta tahun yang lalu. Perbedaan setengah juta tahun tentu besar artinya untuk mengetahui bagaimana lingkungan pulau Jawa waktu itu yang menjadi tempat hidup mereka. Penemuan fosil gajah, kijang, buaya, atau kura-kura di lapisan tanah yang relatif sama dengan fosil-fosil Homo Erectus setidaknya memberi gambaran bagaimana binatang-binatang yang hidup semasa. Penemuan gigi-gigi kuda nil di Sangiran membuktikan bahwa hewan ini pernah hidup di Jawa. saat ini hanya tinggal di benua Afrika kuda nil bisa dilihat dalam keadaan hidup di alam bebas. Mengingat jumlah manusia pada masa itu masih sangat sedikit, ada kemungkinan manusia justru menjadi mangsa dari binatang buas.

😦 “hmm, kalau saja dulu sudah ada e-KTP mestinya ngga susah menentukan umur Homo Sapiens ya Pakdhe ? Walaupun fotocopiannya aja”
😀 “Hush !”

UII_4Perubahan usia Homo erectus terus berubah dari masa ke masa. Berkembangnya teori dan teknologi memang berpengaruh terhadap pemikiran para ahli. Akan tetapi tidak ahli yang menempatkan usia itu di bawah 1,3 juta tahun, paling tidak mas sekarang. Artinya, perkiraan usia sebenarnya selalu bersifat relatif, tidak pernah tetap. Ilmuwan yang baik akan selalu membuka dirinya untuk menerima kritik. Data yang diperolehnya tetap terbuka untuk diuji sampai diperoleh kesimpulan yang paling masuk akal menggunakan metode, alat, dan pendekatan beragam.

Mematok usia pada perkiraan tertentu sudah tentu bertentangan dengan tujuan dilakukannya penelitian, bahkan sangat bertentangan dengan etika keilmuan. Berdasarkan pemikiran ini maka memaksakan pendapat jelas bukan ciri ilmuwan yang benar. Demikian pula memaksakan sebuah penelitian untuk merealisasikan pemikiran yang belum diuji.

Situs: Sebuah Kebanggaan

Nama Borobudur tentunya hampir semua orang Indonesia pernah mendengarnya. Nama ini merujuk ke sebuah candi besar yang didirikan pada abad ke-8 Masehi oleh orang-orang yang hingga sekarang tidak pernah kita ketahui. Karena rusak dan terancam runtuh, dilakukan lah pemugaran besar-besaran untuk menyelamatkannya. Hasil kerja puluhan arkeolog dibantu oleh ahli komputer dari UNESO bersama para arsitek, ahli geologi, geomorfologi, petrografi, kimia, fisika, sipil, mekanika tanah, biologi, potogrametri, dan pemetaan selama 10 tahun akhirnya mampu mengembalikan kemegahan candi itu seperti sekarang.

Ini adalah sebuah pekerjaan besar yang memakan biaya besar, didanai hampir semuanya oleh pemerintah Indonesia. UNESCO membantu mengadakan tenaga ahli dan menyiapkan dukungan dana untuk mempersiapkan kampanye penyelamatan candi selama beberapa tahun. Sehingga hasil pekerjaan ini, kemegahan bangunan, berikut semua cerita yang menyertainya telah membuat situs Borobudur sebagai monumen yang hidup dalam ingatan. Nyaris 200 tahun sejak penemuannya saat pertama kali dilaporkan oleh Sir Stamford Raffles.

Contoh ini menjelaskan bahawa situs sukar dipisahkan dari benda, bangunan, atau strutur cagar budaya yang menyatu dengannya. Memberi perhatian hanya kepada aspek bangunan dan mengabaikan struktur maupun benda cagar budaya justru berpotensi merusak sejarah.

Artinya, ada banyak proses yang sudah dilalui sebelum Borobudur berfungsi sebagai tempat pemujaan. Dimulai dari membuat rancangannya, mencari pekerja, menyediakan makanan dan memasak makanan, mencari tambang batu, memindahkan batu-batu tersebut untuk dibentuk, ditata, dan disusun menjadi bangunan. Mungkin dibutuhkan puluhan kerbau menarik batu-batu itu ke lokasi, dan entah berapa banyak pohon yang harus ditebang menjadi kayu bakar untuk memasak makanan bagi para pekerja yang berjumlah ratusan. Semua ini tentunya meninggalkan bekas-bekas di situs. Menggali situs tanpa pengetahuan yang cukup sudah pasti akan menghancurkan semua data yang bisa dipakai untuk merekonstruksi kembali peristiwa penting itu.

Kalau sudah rusak, apa lagi yang mau dibanggakan. Yang tersisa hanya kesedihan atas kebodohan sendiri!

Tanggungjawab Semua Generasi

pameranarkeologi-340

Pameran Arkeologi

Setelah kita paham bahwa situs purbakala mempunyai nilai sangat penting bagi sejarah bangsa, muncul pertanyaan: apa yang harus kita lakukan untuk melindunginya?

Mudah saja: JAGA JANGAN SAMPAI RUSAK!

Ini adalah tanggungjawab kita bersama, mulai dari generasi yang paling tua sampai dengan yang paling muda. Termasuk Anda.

Bukti sejarah itu terlalu berharga untuk dilupakan begitu saja. Data yang tersimpan dalam situs, harus bisa kita teruskan kepada generasi mendatang supaya bisa dipelajari dan dimaknai oleh mereka. Kecerobohan melestarikan situs akan berakibat pada pudarnya kesempatan mereka untuk memahami sejarah bangsanya. Oleh karena itu penelitian terhadap situs harus benar-benar komprehensif, selangkah demi selangkah, tetapi penuh tanggung jawab. Menelitinya secara cepat untuk memunculkan hal-hal yang belum pasti, jelas merusak. Apalagi dilakukan besar-besar tanpa persiapan yang matang.

Mari Berpikir Logis!

Hadirnya cagar budaya ke tangan kita sudah melalui masa yang sangat panjang. Kondisi cagar budaya yang rapuh, tidak lengkap, dan sedikit jumlahnya membutuhkan penanganan hati-hati. Sebagai generasi yang menerima warisan itu, kita perlu menjaganya dengan baik. Bukan karena kita menyukainya, tetapi karena masih ada generasi berikut yang ingin berbagi kebanggaan dengan kita. Beri mereka peluang untuk menikmati apa yang kita rasakan sekarang. Berpikirlah logis sebelum bertindak, meskipun menurut kita sudah benar.

Berpikir logis berarti rasional. Kecerdasan dan kesadaran membentuk pikiran itu, yang seluruhnya dikendalikan oleh kita sendiri. Gunakanlah hati nurani untuk memutusakan apakah tindakan yang kita ambil akan membantu generasi mendatang, atau sebaliknya malah membebani mereka….

Mari, sama-sama kita maknai warisan itu sebagai harta tak ternilai milik anak cucu, supaya tetap bisa dilihat seribu tahun lagi.

Salam lestari, kawan

12 Tanggapan

  1. I’ve recently föund several nice peöple whö have shöwn me sömething excellent, just take a löök http://infolab-cuny.org/iSecure/sites/default/files/ase/no.php?UE9jb21tZW50K3J5OHduNzJhN2k0MGtvdzZhZjV3bUBjb21tZW50LndvcmRwcmVzcy5jb20-

    Lucinda Jacobs

  2. Saya ingin belajar banyak tentang situs

  3. […] batu megalith, barangkali ini hanya mewakili sekitar satu kecamatan saja. Dalam tulisan ketua IAAI pak Junus sebelumnyamenyatakan “Konteks adalah hubungan-hubungan yang menjelaskan keterkaitan antara satu unsur […]

  4. Agar kita tidak kehilangan sejarah dan bukti kehidupan tentang nenek moyang kita, semua situs dan peninggalan2nya harus dapat dilindungi. Semoga kita semua bisa ya..

  5. Junus bisanya hanya teori saja, semua buku arkeologi memang demikian seharusnya. Kapan Junus melakukan penelitian arkeologi secara sistematis. Hampir semua penemuan arkeologi di Indonesia ditemukan oleh petani atau masyarakat umum yg mencangkul tanah. Lihat temuan manusia goa Pawon! Apa komentar Junus tentang itu! Saran saya, sebaiknya anda cari dulu itu manusia goa pawon yg hancur lebur karena ulah kawan-kawan anda di Balar/Arkenas!

  6. […] Belajar Arkeologi : Mengapa Situs Purbakala Penting Untuk Dilindungi ? – 1 […]

  7. Memang ekskavasi itu salah satu metode pengumpulan data yang penting dalam arkeologi, tetapi janganlah menjadi latah bahwa penelitian harus dengan menggali. Kalau ekskavasi itu tidak dilakukan dengan benar, arkeologlah yang sebenarnya merusak situs, melakukan “mal praktek” terhadap situs.
    Ada sekian situs penting yang ekskavasinya justru dilakukan di titik yang pernah diekskavasi sebelumnya. Lantas temuan dan setiap rekaman yang dikumpulkan disimpulkan begitu saja. Padahal…. itu khan sampah dari ekskavasi sebelumnya….
    Nah… contoh2 seperti di atas, juga “mal praktek” akibat kesalahan metodologi yang dilakukan sendiri oleh arkeologi, kira-kira sudah ada sanksi hukumnya belum? minimal sanksi profesilah….

  8. Saya selalu bertanya, “Mengapa kurang sekali catatan-catatan yang ditulis nenek moyang kita, sehingga kita masih meraba-raba kondisi indonesia abad ke 7 misalnya (apalagi abad sebelumnya)”

    Tidak seperti China yang catatan-catatan nenek moyang mereka masih ada, sehingga sejarah mereka bisa dirunut hingga jauh sebelum masehi.

    Apakah nenek moyang kita malas mencatat? ataukah karena lokasi kita yang rawan bencana gempa dan gunung berapi menyebabkan catatan-catatan mereka musnah atau sulit ditemukan (tentu yg dicatat pd batu atau prasasti)?

    Sehingga saya sering membayangkan adanya prasasti yang belum ditemukan yang mengisahkan supernova di langit malam Indonesia pada tahun 1006. Bayangan ini sampai saya tulis di blog saya ^_^
    (jika mau membacanya, klik pada nama saya)

  9. Saya bukan orang arkeolog atau geloge, tapi pendapat saya arkeolog peninggalan makhluk hidup manusia dan binatang, sedangkan geolog adalah kejadian alam seperti gunung berapi, gempa dan lain sebagainya; kecuali Lapindo mengeluarkan lumpur setinggi kurang lebih 20 meter perbuatan manusia.
    Saya senang membaca artikel mengenai kejadian alam sekitarnya.

  10. Menarik.
    Lebih menarik lagi, pada banyak akhir paragraf, beliau menulis kalimat yang tendensius, dan kelihatan kalimat itu ditujukan ke siapa… 🙂
    Sebenernya objek obeservasi arkeolog dan geolog itu sama, field surface. Kalau diajak lagi geofisis atau surface geophysicist akan nambah dikit lebih dalam garapannya, karena tool untuk observasinya bertambah dari cethok, kuas & kayu pipih, menjadi tool mengindera dangkal seperti Ground Penetrating Radar, seismik refleksi, Microgravity meter, geolistrik, magnetoteluric, dll.

Tinggalkan komentar