Baru awal puasa saja sudah ribut, bagaimana dengan sholatnya astronot ?


sholat.jpgWaktu awal puasa selalu saja dimulai dengan keributan kapan dimulainya. Dan nanti akhir puasa juga akan diramaikan dengan kapan akan lebaran. Itu kejadian “rutin” yang kalau kita tengok sejarahnya bisa saja ada yang akan bosan, bahkan akan terlihat tidak mungkin diakhiri atau terselesaikan.

😦 “Lah hya to Pakdhe, kalau salah hitung trus jadi haram gimana ?”

😀 “Lah kalau sesuatu itu dihalalkan oleh Gusti Allah mbok ya ngga usah diharamkan sendiri oleh manusia, Tole!”

Diskusi ini kalau dilebarkan menjadi menarik bila kita mempertanyakan waktu sholat astronot di angkasa !

Seorang kawan beberapa tahun lalu mengirimi aku email yang ternyata dari koran the STAR, harian di Malaysia yang isinya tentang sholatnya angkasawan Malaysia. Memang menarik sebagai wacana diskusi, karena waktu-waktu sholat seolah sudah tidak relevan karena kita tidak dibumi lagi.

Menurut penulisnya begini:
The question of ‘fixed prayer time’ is only relevant to our lives on Earth. If we are no longer on Earth, then the question of prayer times no longer becomes relevant.

Jadi bagaimana seharusnya sholat di angkasa ?

Menurut pendapat saya yang sangat awam dengan dalil-dalil ini, maka saya berpikir bahwa sholat yang lima kali ini bukan sekedar berdasarkan atas keberadaan bumi dan matahari. Tuhan menuntun manusia untuk sholat dengan waktu-waktunya itu karena kondisi manusia, bukan sekedar karena keberadaan matahari dan bumi. Sholat itu untuk manusia, bukan untuk matahari ataupun bumi. Jadi berbeda dengan Pak Doktor ini, mnurutku dimanapun manusia itu berada maka manusia masih wajib sholat 5 kali. Tentuunya kalau masih beragama Islam yaitu bertuhankan Allah dan bernabikan Muhammad sebagai utusannya.

Mengapa lima kali ?

Aku rasa ini lebih berhubungan atas kondisi “biologis manusia”. Manusia ini secara lahirnya saja mirip dengan binatang (sorry aku menggunakan teori evolusi) yang suka dengan Harun Yahya mungkin berpendapat berbeda. Kondisi biologis terutama “body clock” manusia itu secara alamiah mengikuti perubahan atau siklus-siklus yang ada dibumi selama ratusan ribu tahun, didalamnya sistem tubuh biologis ini termasuk adanya pergantian siang-malam. Istirahat bekerja, bangun-tidur, dsb.

Nah agama Islam menuntut dengan sholat 5 waktu karena manusia sudah terpengaruh dengan “pola ritme alam” sehingga pola manusia menjadi seperti yang ada saat ini.

“Body clock”

biological-clock

Manusia memiliki body-clock yang sesuai dengan rutinitas, siklus dan perilaku lingkungannya.

“Body clock” manusia ini memiliki siklus sehari 24 jam (rata-rata). Ketika manusia berada di Mars satu hari masih sekitar 23 Jam. Sedangkan di Planet Pluto satu hari ada 153 jam !!. Secara nalar kita mudah untuk memahami bahwa tubuh biologis manusia tidak cocok untuk kehidupan di Planet Pluto. Artinya kita tidak mungkin tidur malam 76 jam dan bangun siang 77 jam. “Body clock” manusia tidaklah seperti itu. Tetapi apakah ketika manusia berada di Pluto terus akan sholat dengan melihat matahari yg sedang di Pluto (sesuai dengan lokasinya) ?

Menurut saya TIDAKS. Manusia tetap mengikuti perhitungan sholat lima waktunya di Bumi. Karena secara biologis “body-clock” manusia ada di bumi. Mungkin saja kalau ada makhluk planet pluto, mereka akan sholat berbeda lagi. Itu juga kalau kita yakin di Pluto ada “manusia:) .

😦 “Emang di Pluto ada manusianya, Pakdhe ?”

Alasannya sebenarnya juga ada di Bumi. Yaitu ketika berada di kutub atau berada di lintang diatas 66 derajat lintang. Disana nanti manusia akan memiliki masa dimana matahari akan selalu berada diatas. Atau siang terus selama lebih dari sebulan, juga akan mengalami masa dimana malam juga selama lebih sebulan. Kalau tidak salah sudah pernah dicontohkan dengan menggunakan waktu yang terdekat. Ini dalilnya aku kurang tahu. Hanya inget wektu sekolah di SD yang Muhammadiyah itu saja. Terutama untuk menentukan saat puasa (buka dan sahur).

Dari contoh diatas, saya berkeyakinan bahwa manusia tetap wajib sholat dimanapun berada dan sesuai dengan “body-clock“nya maka sholatnya 5 X sehari !

Jadi aku berbeda dengan pendapat beliau disini

> The time factor in this realm is relative to man in space. But as we have
> said, time for prayer is relative to man on Earth; and therefore if man is
> not on Earth, prayer in relation to time on Earth does not apply to him

(Faktor waktu di dunia ini adalah relatif terhadap manusia di ruang angkasa. Tapi seperti yang di katakan, waktu untuk berdoa adalah relatif terhadap manusia di Bumi, dan karena itu jika manusia tidak di Bumi, doa dalam kaitannya dengan waktu di Bumi tidak berlaku untuk dia

Saya berpendapat

I believed that by the reason of “the human body clock” (biological reason), therefore human still need using earth clock. Its sill can be applied to them anywhere else !!

(Saya yakin dengan alasan “body clock” (alasan biologis), kebutuhan atau kewajiban sholat manusia bumi harus mengikuti pola manusia bumi, dan sangat relevan untuk tetap sholat 5 kali, dimanapun)

Memang bener seperti beliau tuliskan di artikelnya bahwa, orang Indonesia berbeda dengan Malaysia body-clock-nya, karena masa siang dan malamnya beda. Pak Doktor Azhar juga bilang aneh kalau orang Indonesia di Bangkok mengikuti waktu-waktu sholat asalnya (Indonesia), iya dong terasa aneh. Tetapi mengikuti pola sholat lokal menurut saya ini pernting untuk kemudahan sholat berjamaah saja. Sehingga harus mengikuti waktu lokal. Bukan dengan sekedar alasan “body clock” saja lagi.

😦 “Lah hiya ya Pakdhe, kalau saya sedang di Jepang, apakah sholatnya mengikuti waktu di Jakarta ?”

😀 “Perlunya mengikuti waktu sholat setempat ini kan kalau berjamaah supaya mudah juga, Thole”

Saya kok masih yakin Gusti Allah memberikan ajaran agama Islam yang rahmatan lil alamin ini ditujukan buat seluruh manusia-manusia di bumi. Sehingga segala alasan semestinya didasarkan pada kondisi dan kemampuan manusia.

Sekedar berbeda dengan ustadz yg menulis di koran itu.
Ngga papa, kaan ?

Nah tinggal tanya pak ustadz yang ahli dalil untuk mencari apakah ada dalil-dalil Quran atau hadits tentang hal ini. Dan aku sih bukan ahlinya soal dalil-dalilnya, jadi dalam hal ini aku ya nderek saja.

Silahkan dicari dalilnya bagaimana pola sholatnya astronot di ruang angkasa ?

Note … catatan tambahan

Ada dua tulisan lain dari ustadz dengan dalil disini :

Perbedaan yang saya pikirkan dengan dua tulisan diatas adalah, dasar berpikirnya. Saya berpikir manusia diwajibkan dan diatur ibadahnya berdasarkan kondisi biologis manusianya. Sedangkan dua tulisan diatas manusia diwajibkan dan diatur waktu ibadahnya sesuai geografis atau astronomisnya. Duaduanya perlu ditinjau lebih lanjut.

16 Tanggapan

  1. @Oom M. Yusuf
    Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Agus Mustofa mengajak pembaca untuk merenungkan mengenai Islam, makna ibadah dalam ruang dan waktu, serta ibadah wajib dan sunnah.
    ___________________
    :Hehehe…. tolong jangan diplintir ahhh, coba sampean buka lagi KORONGAN IR. AGUS MUSTHOPA RUJAK…
    Beliau menyimpulken dibelahan bumi ada tempat 24 jam pulll malam, dari penafsiran sendiri atas Surah Al Kahfi. 😛

    Note:
    Fisikawan apaan tuh, sampai tidak tahu rotasi bumi ?! lol:

  2. Ternyata ada juga ya astronot Islam, untuk arahnya sendiri bagaimana Pak sekiranya, apakah harus menghadap bumi (ka’bah) ??

  3. Assallamualaikum wwb,
    Mohon maaf ustad numpang memberikan pandangan, gagasan dan pemikiran yang mungkin tidak benar/pas tetapi mungkin ini dapat dipikirkan dengan kesadaran Qolbu.
    Dalil-dalil dalam AlQuran sbb:
    “Orang-orang yang jika KAMI tempatkan mereka di Bumi (Ardhu) mereka mendirikan Shalat dan memberikan zakat serta menyuruh dengan yang makruf dan mencegah yang mungkar dan kepunyaan ALLAH akibat urusan2/perintah2” (QS 22:41)

    “Allah yang menciptakan tujuh Samawat, dan dari Bumi ini permisalannya (persamaannya). Akan naik turun (simpang siur) urusan antara keduanya (Samawat dan Ardh) agar kamu ketahui bahwa Allah menentukan tiap sesuatu dan Allah sungguh menguasai ilmu tiap sesuatu.” (QS.65:12)

    “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami). Ayat tersebut sebenarnya cukup jelas bahwa Allah menciptakan Samawat, berarti yang diciptakan Allah adalah benda kongkrit. Sebagaimana tersebut di atas bahwa yang namanya langit itu tidak pernah diciptakan, tetapi jadi hanya sebagai akibat adanya benda-benda angkasa itu”. (QS.23:17)

    Apakah selain Agama Allah yang mereka cari ? Padalah bagiNya telah Islam orang-orang di Samawat dan Bumi dengan patuh dan terpaksa. Dan kepada-Nya mereka dikembalikan (QS.3:83)

    Kepunyaan-Nya apa-apa yang ada di Samawat dan apa-apa yang ada di Bumi dan apa yang diantara keduanya dan apa-apa yang ada di bawah Bumi (dibawah orbit Bumi)(QS.20:6)

    Dan Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang diSamawat dan di Bumi, dan sungguh Kami kurniakan setengah Nabi atas setengahnya, maka Kami datangkan zabur kepada Daud (QS.17:55)

    Dan bagi Allah Sujud apa-apa yang di Samawat dan apa-apa yang di Bumi dari dabbah dan Malaikat dan mereka tidak menyombongkan (diri) (QS.16:49)

    Pada setiapnya (Bumi2/planet2) ada penghadapan (Kiblat Shalat/Ka’bah di setiap planet itu), DIA-lah yang memalingkannya maka berlombalah untuk kebaikan. Dimanapun kamu berada ALLAH dating padamu semua bahwa ALLAH Maha menentukan tiap sesuatu (QS.2:149)

    Dari manapun kamu keluar maka palingkanlahwajahmu kea rah Masjidil Haraam (Kiblat Shalat/Ka’bah di setiap planet itu). Sungguh hal itu haq/logis dari TUHAN-mu dan ALLAH tidak lengah tentang apa yang kamu kerjakan (QS.2:149)
    Dan dari manapun kamu keluar palingkanlah wajahmu kea rah Masjidil Haraam dan dimanapun berada palingkanlah wajahmu kearahnya (Kiblat Shalat/Ka’bah di setiap planet itu) agar tiada tantangan bagi manusia atasmu kecuali orang-orang zalim dari mereka. Maka janganlah takut mereka dan takutlah pada-KU agar AKU selesaikan nikmat-KU atasmu dan semoga kamu mendapat petunjuk (QS.2/150)

    Catatan:
    QS 16/49 telah menjelaskan bahwa Bulan bukan Planet, Bulan tidak berputar maka Bulan tidak ada Kutub2-nya
    Dengan QS 16/49, dan QS 65/12 bahwa Samawat (Planet) juga seperti Bumi
    Setelah itu mengacu pada QS 2:148 – 150
    walaikummusallam

  4. Tahajud Siang Hari Dhuhur Malam Hari
    Penulis: Agus Mustofa
    Penerbit: PADMA press – Padang Makhsyar
    Cetakan: ketiga (10 Maret 2006; cetakan I: 5 Desember 2005)
    Di wilayah-wilayah tropis, perbedaan siang dan malam hari relatif jelas. Lama waktu siang dan malam hari relatif sepadan, masing-masing sekitar 12 jam. Waktu-waktu shalat pun berkisar sekitar 1 jam sampai 8-9 jam.

    Tetapi di wilayah-wilayah yang terletak makin ke utara dan ke selatan, lama waktu siang dan malam hari akan berbeda tergantung musim. Pada musim panas, di St. Petersburg (yang sempat berganti nama menjadi Leningrad) — di sebelah utara Moskow–, matahari masih menyinari kota meskipun jam menunjukkan pukul 00.30. Suatu kondisi yang disebut sebagai white night atau bilii nosii dalam istilah setempat. Di sebelah utara Helsinki, Finlandia, matahari hanya tenggelam selama 1 jam. Di daerah sekitar Kutub Utara atau Kutub Selatan, matahari bahkan tidak tenggelam atau tidak terbit selama beberapa bulan.

    Di angkasa luar, matahari akan terlihat terus sepanjang hari. Penumpang pesawat angkasa luar tidak akan menemui “hari” karena tidak ikut perputaran bumi. Satu hari adalah rotasi bumi selama 24 jam.

    Jika berada di daerah-daerah non-tropis atau jika menjadi turis luar angkasa, kapankah kita shalat dan berpuasa? Apakah berpuasa sepanjang hari jika matahari terus-menerus bersinar? Apakah tidak shalat maghrib, isya, dan tahajud jika matahari tidak tenggelam?

    Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Agus Mustofa mengajak pembaca untuk merenungkan mengenai Islam, makna ibadah dalam ruang dan waktu, serta ibadah wajib dan sunnah.

    QS. Al Baqarah (2): 177

    Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

    Di akhir bab, Agus Mustofa menyampaikan 3 alternatif pendekatan untuk menentukan waktu-waktu shalat pada daerah-daerah non-tropis dan luar angkasa.

  5. sebenarnya menarik. tulisan pak ustadz soal irrelevansi shalat luar angkasa sepertinya condong ke sudut pandang teknis fikih yang berlaku saat ini. dengan kata lain, hingga kini belum ada bahasan fikih yang memadai tentang juknis shalat luar angkasa.

    kalo cuma ngeles dari kewajiban shalat, tentu manusia mudah lupa ini lebih pintar cari alasan.

    bahkan ada pendapat bahwa shalat di atas pesawat tidak sah karena juknis fikih shalat diterjemahkan bahwa shalat dilakukan di darat. konsekuensinya, shalat dalam perjalanan di atas pesawat dianggap darurat dan harus diganti sesampainya di darat.

  6. eh, iya juga y, hmmm

  7. He.he, makane aku wegah dadi astronot… yen bahan bakare entek.. Ora iso berenang balik nang bumi… Opo maneh mikirke cara sholat

  8. Pakde sudah lebih jauh selangkah ke depan daripada “manusia Indonesia” khususnya… hehe

  9. Perintah sholat yang dituntunkan nabi Muhammad S.A.W itu ditujukan kepada umat manusia yang sehat akal dan hidup di antara langit dan permukaan bumi dengan tatanan yang lazim, jadi kalau ada umat manusia yang hidup tidak diantara langit dan permukaan bumi apalagi dengan tatanan yang tidak lazim, maka hukumnya tidak wajib shalat dengan rukun yang diajarkan nabi. untuk itu silahkan mereka yang hidup di alam tersebut untuk melaksanakan shalat dengan rukun yang diyakini sendiri kebenarannya karena tidak ada tuntunannya. Demikian pendapat aku.

  10. Sholat untuk manusia, masalah waktu manusia terserah cara berpikir

  11. Kalo kita di jepang dan waktu sholatnya berbeda jam nya dengan di Indonesia, dikatakan karena hanya untuk memudahkan sholat berjamaah saja. Jadi bila kita tidak sholat berjamaah, boleh ikut waktu sholat di Indonesia?, wah rasanya gak pas pakde.
    Menurut saya, selagi kita masih dibumi dengan mengalami perputaran matahari yang normal (bukan diujung kutub sana), kita tetap harus mengikuti waktu lokal.
    Dalam keadaan tidak normal seperti di kutub, di angkasa luar, dalam perjalanan yang jauh, sudah ada petunjuk kemudahan untuk melaksanakan sholat.

  12. Pernah memikirkan persamaan dan perbedaannya dengan sholat untuk musafir?

  13. […] saya googling dan sampailah kepada blog kolega saya Pak Rovicky yang kerja di HESS Malaysia tentang shalatnya seorang astronot. Seperti biasanya, topik-topik tulisan dia aktual dengan bahasa yang “kamanungsan” […]

  14. Suka dan setuju dengan pendapatnya, Pak Dhe :

    “bahwa sholat yang lima kali ini bukan sekedar berdasarkan atas keberadaan bumi dan matahari. Tuhan menuntun manusia untuk sholat dengan waktu-waktunya itu karena kondisi manusia, bukan sekedar karena keberadaan matahari dan bumi. Sholat itu untuk manusia, bukan untuk matahari ataupun bumi.”

    Bioritmik manusia dalam 24 jam perlu di-recharge baik secara fisik dan/atau psikis. Somehow dalam Islam itu diatur dengan shalat itu tadi, disamping memang shalat itu sendiri sebagai ibadah yang harus dilakukan oleh umat muslim.

  15. Baru awal puasa saja sudah ribut, bagaimana dengan sholatnya astronot ? semoga kedepan awal sama akhir tidak pada ribut ya Pakdhe 🙂

    untuk shalat astronot tungguh orang LIPI sama yang sudah keluar angkasa dulu deh 😀

  16. Sholat astronot!!! Betul tu ! 🙂

    Jika 90% daripada 1.5b+- orang Islam sedunia masih tertekan kerana kemiskinan apa lagi yg tinggal untuk di makan, untuk puasa, dijimat?

    Bagaimana kesihatan – fisikal dan intellectual? Bagaimana ibu-ibu yang ada anak-anak kecil?

    Apakah tiada ketinggalan sesuatu dalam mesej untuk manusia?

    Macam mana kalau diet aje? Atau berpuasa se hari?

    Orang-orang, termasuk segelintir yg ” ‘alimi” membeli lebih daripada yg perlu kemudian terbuangan. OK jika disedekah tapi itu konotasi penghambaan tanpa memuliakan manusia. Di Dubai berbilang ton makanan terbuang!

    Apa mesej yg ketinggalan atau tidak beruraian?

    Ada siapa yg menyelitkan tambahan sendiri?

Tinggalkan komentar