Menimbun (menenggelamkan) lokasi semburan lumpur panas


Menimbun (menenggelamkan) lokasi semburan lumpur panas

Untuk mengurangi meruncingnya kubu pro-kontra pembuangan lumpur memerlukan lebih banyak lagi alternatif-alternatif usaha untuk penanganan material yang sudah berada dipermukaan. Sehingga, tidak hanya berkonsentrasi pada penanggulangan banjir lumpur ini yg diusahakan oleh tim bawah permukaan. Kerna hasilnya masih belum bisa diharapkan tingkat kesuksesannya.

Wacana membuang lumpur merupakan sebuah tindakan mudah untuk segera keluar dari problem di daerah bencana. Namun membuang ke tempat lain merupakan salah satu langkah ‘penyebaran’ permasalahan ditempat pembuangan.

Berikut salah satu alternatif lain dengan menimbun/menenggelamkan daerah sekitar lokasi semburan lumpur panas ini dengan material lumpur yang keluar ini (self burried).

Mud Volcano yang tidak bisa ditawar

Tentunya sudah banyak yang menyadari fenomena alam apa yang terjadi di lokasi semburan Lumpur Sidoarjo ini. Saat ini diduga sebuah kemungkinan aktifitas pengeboran yang berlanjut menjadi sebuah proses alami semburan lumpur bawah tanah yang sering disebut sebagai Gunung Lumpur atau Mud Volcano (MV). Sama seperti yang sudah sangat sering dijelaskan sebelumnya oleh para ahli geologi sebelumnya dibeberapa media termasuk di Kompas.

Fenomena gunung lumpur (mud volcano) ini banyak sekali di dunia demikian juga diketemukan daerah Jawa Timur. Ketika gunung lumpur ini berada jauh dari pemukiman dan jauh dari aktifitas manusia maka kejadian ini merupakan sebuah fenomena menarik yg sering menjadi obyek wisata dan mendatangkan devisa, namun ketika terjadi dan muncul di tengah-tengah kawasan industri serta kawasan pemukiman yang padat penduduk akan sangat menganggu dan bahkan akan mendatangkan bahaya. Demikian juga dengan banjir lumpur di Sidoarjo ini yg merupakan masa awal lahirnya sebuah Gunung Lumpur.

Evolusi gunung lumpur

Tiga model evolusi gunung lumpur akan dijabarkan disini. Model-model evolusi gunung lumpur ini semua menduga patahan sebagai jalan keluar dari bawah permukaan. Sama seperti yang diduga terjadi di Sidoarjo ini. Ketiga model evolusi gunung lumpur ini dikembangkan oleh Kopf et al. [1998], Van Rensbergen et al. [1999] dan Slack et al. [1998].

Gambar 1. Model MV dari Kopf [1998]

Menurut Kopf et al. [1998] dan Slack [1998] ada tiga stadia utama dalam evolusi gunung lumpur ini. Model-model evolusi gunung lumpur ini kesemuanya model yg terjadi di laut, terutama yang sering dijumpai di laut dalam. Sebelumnya perhatikan skala 1 Km pada gambar 1 ini, ukuran ini dapat dipakai nantinya dalam memperkirakan besarnya ukuran gunung lumpur yang bakal terjadi dan perkiraan amblesan.

Gambar 2. Model MV dari Slack et al [1998]

1. Fase eruptif

Pada fase awal ini terjadi pelepasan tenaga yg cukup kuat. Sifat erupsi yang terlihat pada fase ini adalah fase pelepasan tekanan yg sangat dominan. Fase awal ini akan sangat banyak mengeluarkan material terutama cairan (air). Air serta gas merupakan material yg paling mudah berpindah tempat. Kedua jenis fluida ini akan keluar bersama-sama dengan gerusan dinding lubang tempat keluarnya lumpur.

Pada fase ini material yg terbentuk sering disebut sebagai “mud breccia” (breksi lumpur).

Fase awal ini di Sidoarjo terjadi ketika sumber lumpur mulai menembus permukaan, yg diperkirakan karena usikan pengeboran yg melewati zona rekahan.

2. Fase longsoran lumpur dan semburan uap panas (hotspring)

Model yg dipergunakan kedua peneliti gunung lumpur diatas adalah gunung lumpur dibawah air (di dasar laut). Sehingga hanya gundukan material lumpur saja yang tersisa dan teramati sebagai catatan geologi. Menurut modelnya Kopf, fase kedua merupakan fase setelah pembentukan gundukan. dimana pada fase ini gundukan ini sering berasosiasi dengan endapan laut (hemipelagic).

Menurut Kopf fase kedua ini diikuti keluarnya fluida air yg sering berasosiasi dengan semburan uap panas. Hal ini terjadi karena proses liquefaksi serta hilangnya daya dukung butiran penyusun batuan. Seolah-olah tanah diremas dan mengeluarkan cairan yg ada dalam pori-porinya (air).

3. Fase amblesan (subsidence)

Menurut model yg dikembangkan Kopf dan Slack fase akhir yang menyebabkan amblesan ini terjadi setelah hilangnya material ke permukaan. Besarnya amblesan diperkirakan berdiameter sekitar 5-7 Km dengan kedalaman hingga 100-200 meter.

Fase-fase ini sangat mungkin tidak hanya terjadi sekali saja, namun merupakan proses yg berkesinambungan dan berulang-ulang. Hal ini disebabkan karena proses kesetimbangan alam akan saling melakukan ‘adjustment‘. Proses erupsi, semburan dan amblesan terjadi secara episodik berulang-ulang. Gambar 3 dibawah menunjukkan bagaimana proses ini akan berkesinambungan membentuk lapisan-lapisan Gunung Lumpur.

Model ketiga dibawah ini juga menggambarkan bagaimana hubungan antara konfigurasi bawah permukaan dengan patahan (rekahan) yang ada. model Slack dan model dibawah ini menunjukkan bahwa lokasi penurunan (subsidence) tidak selalutepat dibawah lokasi keluarnya lumpur ini dipermukaan.

Gambar 3. Model evolusi Gunung Lumpur dari Van Rensbergen et al. [1999]

Menimbun (menenggelamkan) daerah bencana banjir lumpur

Yang keluar dari dalam tanah di daerah Sidoarjo ini saat ini berupa campuran air (70%) dan lempung (30%). kedua jenis material ini air & lempung bisa saja dibuang bersama-sama atau bisa juga dipisahkan. Kali ini kita konsentrasikan dengan 30% material lempungnya.

Seperti yg digambarkan dalam model evolusi gunung lumpur ini, pada fase pertama kedua dan ketiga akan selalu mengeluarkan material solid. Pada fase ketiga akan terjadi penurunan (amblesan) lokasi amblesan ini tidak selalu diatas gundukan lumpur, namun akan sangat tergantung dari konfigurasi patahan (rekahan) yang ada didaerah tersebut. Sehingga sangat diperlukan pemodelan bawah permukaan untuk mengantisipasi dimana lokasi yang akan ‘diamankan’.

‘Pengamanan’ atau melokalisir dampak ini sangat penting. Salah satunya dengan membatasi melebarnya area bencana karena menyebarnya lumpur ini. Namun sekali lagi harus diingat, cara yg terungkap di tulisan ini hanya berkonsentrasi untuk penangan solidnya atau lempungnya saja. Air yg 70% juga harus difikirkan juga walaupun bisa saja terpisah baik pembuangan atau proses treatment-nya. Saya kira air ini dapat dibuang saja, sedang lempungnya dipertahankan dikelola diarea bencana.

Secara sederhana saya menggambarkan fase-fase penimbunan dan tahapan melokalisir penyebaran lumpur. Perlu dilakukan pengamatan berkesinambungan dalam menentukan lokasi bendung-bendung ini. bagaimana konstruksi bendungan ini tentunya kawan-kawan dari civil engineering akan dengan mudah melakukannya.

Yang perlu diketahui serta dilakukan saat ini adalah:

  • Pengukuran seberapa besar debit lumpur beserta airnya.
    Debit lumpur ini sebaiknya dikuantifikasi dengan tepat karena angka-angka ini akan menjadi dasar desain pembuatan serta konstruksi (pembangunan) bendungan, dan penanganan fluidanya.
  • Dimana lokasi amblesan yg sudah terjadi.
    Perlu juga dilakukan pengukuran serta pemodelan geologi bawah permukaan. Untuk memperkirakan penurunan selanjutnya.
  • Seberapa besar penurunannya dan pertubuhannya.
    Kuantifikasi dengan angka sangat diperlukan baik
  • Komposisi fisika-kimia dan mineralogis dari material yg keluar dari lubang lumpur baik fluida (air dan gas) dan solid (lempung, pasir dan lainnya).

Keuntungan menimbun (menenggelamkan) lokasi semburan. Tentunya akan ada manfaat yg dapat diambil apabila skenario penenggelaman (penimbunan) daerah lokasi ini. Keuntungan ini dapat dibagi menjadi :

  • Saat kejadian (saat ini)
    • Melokalisir daerah bencana (melokalisir permasalahan)
      Disini sangat jelas akan mempersempit permasalahan yg ditimbulkan. Potensial konflik akan lebih mudah dikendalikan
    • Mengurangi beban laut
      Membuang air saja di laut akan lebih mudah diterima ahli-ahli lingkungan laut serta masyarakat tepi pantai. Bukti adany ikan yg hidup di kolam penampungan sudah menunjukkan bahwa air ini ‘aman’. Pembuangan solid (lempung) di laut lebih sulit dimodelkan karena ada fase pengendapan cukup lama yg apabila dicanpur dengan koagulan sama saja menambahkan bahan kimia yg pasti juga akan memilki sifat pencemar.
    • Dampak lebih “terukur”.
      Karena semua bersifat konstruksi bangunan (civil engineering approach) maka dampak fisik akan lebih jelas terukur dan teramati. Konflik selama ini lebih banyak bersifat non fisis (biologis khemis) yg lebih susah diselesaikan.
    • Dapat dilakukan bertahap
      Karena masih belum diketahui pasti perilaki (lokasi amblesan dll) maka akan sangat mungkin disesuaikan dengan kondisi keluarnya lumpur serta kondisi permukaan tahap demi tahap.
  • Masa konstruksi
    • Memanfaatkan material menjadi bahan komoditi
      Saat ini lumpur ini masih diangap sebagai bahan yg harus dibuang. Namun ada kalanya nanti dapat diketahui manfaatnya. Sehingga penimbunan bisa dikurangi seandainya bahan yg akan dibuang ini dijadikan bahan komoditi yg memilki nilai ekonomi.
    • Kemungkinan skenario lain masih sangat terbuka
      Dengan belum diketahui kejadian selanjutnya maka masih terbuka kemungkinan-kemungkinan lain karena menunggu pengukuran serta analisa. Ada waktu untuk melakukan studi apabila terpaksa dibuang ke laut.

  • Pasca konstruksi
    • Dapat dipakai sebagai monumen pembelajaran
    • Dapat dimanfaatkan sebagai lokasi wisata alam

Kelemahan menimbun (menenggelamkan) lokasi semburan :
Selain memilki kelebihan-kelebihan diatas tentunya juga ada kelemahan-kelemahan

  • Kehilangan potensial serta fasilitas yg sudah ada di permukaan
    Dampak hilangnya potensi serta fasum-fasos akan lebih jelas dan kasat mata. Potensial konflik lebih nyata.
  • Dampak langsung terlihat kemungkinan mengagetkan (shocking). Menyaksikan rumah yg terkubur, gedung yang tenggelam, tempat yg menyimpan kenangan bagi penduduk sekitar.
  • Biaya mahal harus dibayarkan (disiapkan) di depan
    karena sifatnya pembuatan konstruksi (civil construction), maka perlu ada dana khusus yg harus dianggarkan dimuka. Dalam kondisi keenomian saat ini perlu difikirkan sumber pendanaannya.

Perlu diketahui bahwa penenggelaman (penimbunan) ini hanya memanfaatkan material solid yang hanya 30% dari volume material yg keluar. Air yang merupakan 70% bagian ini harus difikirkan untuk ditangani tersediri maupun bersama-sama. Namun cara yang paling praktis adalah, memisahkan air dengan lempung dengan pengendapan (pengaliran berjenjang) dan membuang air setelah dilakukan treatment. Air hasil pemisahan ini semestinya dapat dibuang langsung juga tanpa treatmen seandainya tidakada zat yg bersifat toxic.

23 Tanggapan

  1. […] sejak sebelumnya, sehingga menurut pakdhe ini lebih baik dan lebih cenderung mengusulkan untuk menenggelamkan (menimbun) lokasi […]

  2. salam Pak Rovicky….
    salut dengan ide2 yg ada…
    tp saya malah jd kesel ma pemerintah yg keliatan’ny malah gk ada usaha lebih bwt selesaikan masalah Lumpur ini…yg dikerjain cuma bendungan aja….
    padahal indonesia punya banyak ahli yg bisa saling bekerja sama…

  3. mas, saya rencenanya ngambil THESIS tentanga LANDSUBSIDENCE di porong, asay mau kaji dengan teltii dari faktor consolidasi, bebant tmbunan dan lumpurnya, dan deatertn material lumpur?
    mohon masukin nantinya ya mas

  4. pak dhe,saya mahasiswa PENS.saya kan mau coba-coba kerjakan Tugas Akhir tentang prediksi luapan lumpur berdasarkan naturalisme atau letak geologi wilayah sidoarjo untuk 5 tahu kedepan.kira-kira pak dhe mau gak bantu saya ngasih info-info tentang geologi.

  5. Waduh namanya memper dikit kaya pemain Arsenal. Saya butuh sarannya. Saya mo beli rumah didaerah Candi, Sidoarjo yang jaraknya sekitar 3,5 – 5km dari pusat semburan. Posisi rumahnya di sebelah barat jalan raya. Harganya seh murah, tapi menurut pendapat sampeyan kira2 aman gak yah beli rumah disitu. Saya denger seh buat invest aja daerah itu bagus, krn kabar2nya lapindo sudah keluar minyaknya. Katanya seh.
    Thanks ya!!

  6. jawab ya pak de please 10000000X

  7. pak de sorry nanya ku agak nyeleneh and kluar dari topik sorry ya,my question is;
    smpyan iku asl e dari mana seh cak/pak de?
    klo mo hub. misal untuk ngundang diskusi/seminar gitu loh ada contact personnya ga?
    jawab ya pak de, u can send in my email:ail_d3mensi@yahoo.com if u r privasi ndak mau diganggu?
    ismail, surabaya.instrument engg.ITS

  8. […] Mengelola lumpur ini bukan perkara mudah, walaupun sudah diijinkan untuk dibuang ke kali terdekat saja, masih juga ngga mampu membuangnya. Jumlah yang mampu dialirkanpun sangat-sangat kecil dibandingkan penambahannya. Seperti yang sudah diduga sejak sebelumnya, sehingga menurut pakdhe ini lebih baik dan lebih cenderung mengusulkan untuk menenggelamkan (menimbun) lokasi ini. […]

  9. Pond/kolam memang ditujukan untuk mengontrol luapan lumpur (lempung+air). Hanya saja perlu disadari bahwa pembuatannya itu karena kondisi darurat, tentunya pond/tanggul ini tidak didesign utk debit lumpur yang himgga diatas 100 rb m3/hari.
    Saya rasa tanggul itu sifatnya darurat. Memang ada perhitungan sisi engineeringnya, tetapi tetap bukan tanggul permanen. Tentunya hujan sudah dihitung tetapi dengan debit yg semakin membesar sudah jelas harus dihitung ulang.

  10. Hallo Omm untuk penggulangan sytem yang sudah dilaksanakan pemebuatan pond atau kolam-kolam penampungan lumpur dan air, itu sangat bagus.
    Apa untuk pembuatan tanggul-tanggulsudah jadi, tersebut sudah dipikirkan kalau terjadi hujan akan mempengaruhi permukaan tanggul tersebut, tidak

  11. wah pak edwin, seneng deh liat orang pinter kaya panjenengan(anda). ternyata dari penjelasan bpk dhios tuh jadi ngerti banget, apa si sebenernya lumpur di sidoarjo. jadi dhios nyambung kalo diajak ngomong soal itu. tapi by the way bus away makan cakwee( hehehe nggak penting yaw?) kayaknya masih banyak orang-orang yang gak ngerti apa sebenernya permasalahan lumpur itu, terutama masyarakat yang jadi korban, yang rumahnya pada tenggelam. jelas kebanyakan dari mereka lebih mikirin kepanikan dan kesedihan mereka dong, lha wong rumahnya terendam lumpur, sampe gak kelihatan lagi (ya iya lah…)
    tapi kalo emang ada jalan menjadikan lumpur itu sebagai first komodity kaya yang bpk bicarakan diatas, berarti kan mbok ya masyarakatnya itu juga harus diurus kan? kasihan juga kalo mereka cuma dibiarkan tergantung,,, rumah ga ada… pekerjaan tidak puya… kan kasian to??
    tapi yang saya bingungkan, apa iya kalo lumpur itu dah ditutup, gak akan menimbulkan masalah lagi?
    seperti gunung berapi juga… kalo masih aktif kan tetep berpotensial jadi sumber bencana.
    matur suwun… sampun cekap kemawon…
    maap kalo coment saya agak ngawur…

  12. Hermanov,
    saya rasa disimulasikan mudah sekali. dan aku rasa sudah pernah dilakukan … hanya saja sepertinya hal itu masih “rahasia”. Ketertutupan ini yg menjadikan risiko semakin besar ketika hal itu terjadi.

    Saya yakin kalau airnya saja yang dibuang sudah akan mengurangi risiko ini besar sekali. Jadi pisahkan saja lempung dan airnya, trus buang saja airnya.
    Lumpur ini akan sangat diperlukan sebagai “pengisi” lubang seandainya amblesan masih terus terjadi. kalau lempung juga terus dibuang tentunya ketika terjadi amblesan akan menjadi pusat sedimentasi dari sumber lain atau bahkan menjadi “cekungan air” (rawa) yang pengelolaaannya lebih kompleks ketimbang mengelola “gunungan lumpur” yg suatu saat lempung ini dapat dimanfaatkan sebagai kommoditi.

  13. Pak Rovicky,
    sekiranya pada musim hujan nanti, semua tanggul jebol (worst case scenario) air yang 70% itu akan mengalir kemana? dari Peta Topografi bisa disimulasikan gak ya?

  14. Saya cuma mencermati artikel berita2 di harian Kompas, kualitas air dan lumpurnya tidak membahayakan, makanya nggak ada yang sambat gatelen atau biduren badannya. Tambak2 udang di sana produksinya baru turun dan kena embargo pemasaran dengan dalih airnya tidak bagus. Jadi para pemilik tentu kebingungan.
    Lumpur dan airnya kan steril, seperti banyu kelapa ..gitu lah, kalo gatelen ya karena septik tank pada mbludak itu lho. Untung saya tidak punya tambak udang di Sidoarjo, jadi tidak bingung. Wajar2 saja kalo mereka pada kuatir. Lha sepeda motor saya aja tak kunci, takut nek dicolong. Kalo lumpurnya mengandung zeolit, dicemplungi lele saya jamin dalam dua bulan sudah gede2 sak lengene Inul Daratista.
    Semoga segera ada kompromi sehingga rakyat tidak terlalu menderita. Selain mau musim hujan, juga G.Bromo dan g.Semeru mulai aktif, harus waspada kalo ada gempa dari selatan cekungan Lumajang, bisa runyam. Spritualis Mama Laurent memprediksi antara Desember sampai Februari bisa terjadi sesuatu di sekitar Madura. Kita boleh tidak percaya tetapi harus selalu waspada.

  15. Wadduh … kok jadi serius banget aku nulisnya ya ….
    kok dongengannya jadi ilang … nyatai aaaah ….. udah jumat niih !!

  16. sebenarnya, kalau melihat dari komposisi lumpur yang 70% air dan 30% tanah, “membuang” yang 70% saja sudah sangat signifikan mengurangi volume luapan lumpur. hanya saja, memisahkan yang 70% itu perlu treatment khusus yang sepertinya cukup ribet juga, terutama karena kita berpacu dengan musim hujan yang sudah di depan mata yang berpotensi memicu banjir lumpur dalam skala ruang yang lebih luas lagi.

    tapi saya sendiri belum tahu juga, apakah dalam bulan2 hingga november curah hujan di sidoarjo sudah cukup besar atau belum. dan apakah jika dikebut, instalasi utk memisahkan air dari lumpur itu bisa siap pakai di akhir bulan november dengan kapasitas yg bisa menyamai debit lumpur yg keluar sekarang. membuang air yang 70% itu kelaut atau sungai mungkin tidak terlalu bermasalah, mungkin bisa dengan tingkat kekeruhan yang masih bisa ditolerir atau sama dengan ambang batas yang dijinkan.

    mengenai isu musim hujan ini, di koran2 saya selalu membaca para “pejabat” dan “tokoh” menyebutkan ttg “berpacu dengan musim hujan”, tetapi tidak/belum ada data2 yang dibeberkan mengenai seberapa besar curah hujan di bulan september, oktober, dstnya itu. secara normal, hujan memang mulai akan sering turun bulan oktober di Jawa, tetapi mungkin saja masih belum terlalu besar curah hujannya.

    bisa juga, kita mengambil solusi kombinasi: membuang sebagian ke laut dan sebagian lainnya tetap ditaruh di tempat penampungan di darat untuk menjaga agar batas lumpur yang ada di tempat penampungan tidak melebihi “volume kritis” yang mungkin berbahaya jika terjadi musim hujan yang lebih cepat.

    aduh, sorry kepanjangan…

  17. saya stuju lumpur itu bukan polutan, namun akan lebih bagus seandainya
    lumpur itu dijadikan komoditi, ini “first priority”.
    membuang itu jelas ada masalah lain, yang masih belum terlihat saat
    ini adalah menganggap lumpur sbg bahan galian. ini harus digali dan
    diciptakan. lebih banyak yg menganggap lumpur sbg bahan tak berguna,
    alias sampah dan bahkan polutan.
    adanya Hg memang menakutkan tapi kebenarannya perlu ditliti lebih
    detil. dalam bentuk atau terikat sbg unsur apa, berapa jumlahnya,
    bagaimana genesanya, dan apakah benar identifikasi bahwa ini memang
    sampah.
    analisa fisis mineralogis lumpur ini sangat penting utk diketahui.

    pirowene nglakuin analisa mineraloginya ini seeh ?

    rdp

  18. Pak Vicky,

    Apakah sebenarnya skenario mbuang lumpur ke laut ini sebenarnya sudah ada sebelumnya, tapi nunggu dulu, daripada muncul polemik baru, mending usaha dulu bikin tanggul, dll, mbuang-2 uang rakyat dulu, bikin mereka tambah sengsara dulu, dst.
    Saya pikir para ahli sudah tahu lumpur ini isi-nya apa dan bagaimana seharusnya dia diperlakukan. Kalau emang isinya yang 70% kenapa nggak kerjasama aja sama PDAM bikin sumber air baru?
    Atau buat aqua, sambil dipikirkan njadiin lokasi ini lokasi wisata alam unik yang bisa mendunia….

    Saya itu bingung lho…para pembuat kebijakan yang pinter-2, para guru besar yang jago-2, dan para-para analis yang lain pada kemana?

    Salam prihatin lumpur dari seberang lautan

    RH

  19. Mas Rovicky,

    Ide baru nan segar dan objektif.

    Tapi, pertimbangan bahwa akan ada gas setelah mud dan air gak?
    Takutnya dengan skenario ini, tetep masih ada gas yang bakalan keluar, sampai waktu yang sangat lama, untuk pressure equalising ke atmosfer…
    Driving force-nya kok kayaknya gede banget, dan pastinya dipicu oleh gas…

    Salam.

  20. mas Rovicky, masalah lumpur sidoarjo itu sarat dengan konflik, karena tambak2 di sana itu miliknya para pejabat tinggi, managernya cina2. Makanya lapindo ketakutan buang ke laut. padahal lumpurnya lebih bersih dari lumpur sungai Porong yang sudah terkontaminasi industri saat ini.Kalau airnya dijernihkan dulu, mending lalu dijadikan air kemasan laku dijual.
    Akibatnya, orang geologi dan minyak jadi kelihatan bodo, jungkir jempalik nanggul lumpur… hahaha .. malah dijadikan tersangka tindak pidana teroris … haha .. coba kalau yang ngebor perusahaan Cina atau Amerika, pasti gak berani protes. Pejabat kita banyak yang jago kandang, tapi ketemu orang asing …. beeem .. manggut2 doang.
    Padahal kalo dibuang kelaut, jadi daratan delta, waahh.. ngerejekeni, tambaknya bisa tambah luas, rugi sebentar tetapi setelah itu untung berlipat.

  21. Pak Rovicky,

    Sebagai penggemar kartun saya ingat tentang iceman (ato siapa ya??) yang bisa membekukan musuhnya. Musuhnya jadi tidak bergerak.
    Apakah bisa digunakan bom nitrogen untuk membekukan areal sekitar semburan. Jadi seperti film nih…Apakah mud/lumpur itu bisa beku jika dikasih nitrogen segepok…

    terima kasih.

  22. sbenernya soal bom ini sdh saya jelaskan di tanya jawab ttg lumpur.
    intinya ada bahaya karena akibatnya tdk terkontrol, berbeda dg demolition building yg segalanya terukur. lah ini dibawah sana sapa yg tahu utk tujuan engineering ?

  23. pakde rovicky (well namanya gaul banget sih pakde), setelah membaca penjelasan pakde di atas, gw jadi terinspirasi, barangkali ini ide konyol, tidak ada dasar ilmiahnya, hanya sekedar ide gila barangkali, yaitu kita ledakkan aja pake bom atau apalah, bagian atas dari tempat keluarnya lumpur panas itu (entah bagaimana penjelasan teknisnya) yang jelas gagasannya adalah kita menutup lubang itu/menimbun dg material yg “runtuh” karena sengaja kita ledakkan….siip khan???

Tinggalkan komentar